Menjadi sukses itu bukanlah suatu kewajiban, yang menjadi kewajiban adalah perjuangan kita untuk menjadi sukses.

Sabtu, 14 April 2012

Hati hati, Jangan Terlalu Sering Nonton Komedi Romantis !

Para perempuan umumnya punya cara istimewa untuk menggunakan "me time"-nya: nonton film-film komedi romantis secara maraton, atau membaca novel-novel percintaan. Usai menonton, pikiran biasanya jadi fresh. Karena selain tertawa-tawa menyaksikan adegan konyol, hati juga jadi mengharu-biru membayangkan kecupan mesra tokoh pria utamanya.


Namun, Anda sebaiknya tak terlalu sering membaca dan menonton komedi romantis. Sebuah esai baru dari psikolog Inggris Susan Quilliam menyimpulkan, kisah-kisah cinta penuh khayalan tersebut bisa menyebabkan perempuan terlalu mengidealkan seks dan hubungan. Seb
elum Anda memprotes mengenai hasil penelitiannya yang dimuat diJournal of Family Planning and Reproductive Healthcare ini, coba simak bagaimana popularitas novel picisan di kalangan perempuan.

Menurut Quilliam, di beberapa negara Barat, separuh dari semua judul buku yang dibeli kaum perempuan ber-genreromantisme. Penggemar fanatik buku-buku percintaan bahkan bisa membaca sekitar 30 judul buku romantis tiap bulan. Artinya, tiap hari membaca satu buku. Nah, sesuatu yang dilakukan terlalu sering atau terlalu banyak biasanya tidak baik, bukan?

Novel romansa tak ubahnya seperti junk food; kebanyakan menggunakan formula agar mudah dan cepat dikonsumsi. Sebuah kisah percintaan umumnya menggambarkan sepasang pria dan wanita yang saling jatuh cinta, tetapi karena sesuatu alasan jadi saling salah paham, berpisah sesaat, tapi akhirnya berhasil mengatasi masalah tersebut dan akhirnya menjadi bahagia selamanya.

Setiap film atau novel mungkin memiliki subgenre, alur cerita, dan setting yang berbeda-beda, tetapi kisah-kisah tersebut menyodorkan kesempurnaan dan pengidealan terhadap suatu hubungan. Masalahnya, tidak semua pembaca memiliki pengalaman hidup yang cukup untuk memahami nilai-nilai yang disampaikan oleh novel tersebut. Yang dikhawatirkan, pembaca tidak mampu memisahkan kehidupan nyata dari fantasi yang ditampilkan dalam film atau novel tersebut. Sebab setelah membaca atau menonton romantisme itu berulang kali, dan begitu larut di dalamnya, akhirnya tertanam dalam diri kita bahwa itulah kehidupan yang sebenarnya.

Sebagai konselor hubungan, Quilliam menyadari betapa rentannya sebagian perempuan terhadap romantisme. Kisah percintaan yang mengharu-biru bisa menimbulkan kepanikan ketika perempuan dihadapkan pada problem hubungan di dunia nyata. Yang paling gampang, tokoh-tokoh dalam film atau novel selalu digambarkan tampan, putra pengusaha kaya yang menyamar jadi orang biasa, dan lain sebaiknya. Dalam kehidupan nyata, orang yang beruntung mendapatkan pasangan yang tampan, kaya, populer, dan baik hati, bisa dihitung dengan jari. Bila berkeras menunggu datangnya Prince Charming dengan kualitas seperti ini, siap-siaplah hidup melajang.

Ketika sebuah kisah berakhir happily ever after, misalnya, tak dipaparkan lagi bagaimana kedua tokoh utamanya harus menjalani kehidupan yang begitu kompleks. Sementara dalam kehidupan nyata, kebahagiaan selamanya tak bisa diperoleh begitu saja. Harus ada kerja keras dari kedua belah pihak untuk memperjuangkannya.
Tipe aktivitas seksual yang ditampilkan dalam novel atau film romantis seringkali juga kurang mendidik. Dalam film-film romantis kuno, paling-paling ada adegan orang berciuman. Tetapi sekarang, selain menampilkan tokoh-tokohnya dalam keadaan topless (yang juga dapat menularkan obsesi terhadap tubuh yang sempurna), banyak adegan hot yang ditunjukkan segamblang mungkin.

Dari 78 buku yang dipelajari oleh Quilliam, hanya 11,5 persen sekuens hubungan seks yang melibatkan penggunaan kondom. Dalam novel, ajakan mengenakan kondom memang bisa bikin ilfil saat membacanya. Namun tanpa itu, seks yang ditampilkan dalam novel romansa bisa menyesatkan pembaca. Misalnya, bahwa menggunakan alat kontrasepsi sebenarnya tidak penting karena bisa mengacaukan mood.

Tentu, kita bukannya dilarang menonton atau membaca novel romantis. Sama halnya dengan kaum pria yang dulu dibilang memuja setan karena mendengarkan musik metal, atau mendukung kekerasan karena gemar main video games, jadikan hobi ini murni sebagai selingan dari kehidupan nyata saja. Masuki dunia fantasi itu ketika Anda merasa membutuhkannya, namun bergegaslah keluar ketika Anda harus menghadapi problem di dunia nyata.


0 komentar:

Posting Komentar